Diponegoro 58, Suatu Hari pada 1996
Di ujung lain telepon, Soesilo Muslim melapor dengan terburu-buru. Wakil
Komandan Satgas PDI pro-Mega itu melaporkan adanya serangan terhadap
kantor PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, tempat ia sedang berada.
Suara teriakan dan benda-benda beradu nyaris menenggelamkan suaranya.
Pesan yang tertangkap, Muslim mengaku baru saja menolak tawaran Komandan
Kodim dan Kepala Polres Jakarta Pusat yang memintanya menyerah dan
meninggalkan kantor itu.
Dari Kebagusan yang sejuk, Megawati memberi perintah. “Pak Muslim, Bapak
tetap di tempat dan jangan melakukan apa-apa.” Gagang telepon kembali
diletakkan. Sebentar berlalu, Ricardo, seorang staf pribadi Megawati,
datang ke rumah yang asri itu. Megawati, yang masih memakai daster warna
krem, memanggilnya. “Kamu temani saya di sini,” permintaan Mega kepada
Ricardo, yang kini menjadi Wakil Sekjen Partai Nasionalis Bung Karno
(PNBK).
Ricardo, yang menceritakan kembali kejadian nahas itu, mencoba
menghubungi nomor telepon ruang ketua umum di Jalan Diponegoro. Seorang
satgas dari Papua mengangkatnya dengan napas memburu. Belum lagi obrolan
dimulai, terdengar suara pintu yang somplak karena didobrak. Satgas itu
langsung melompat melemparkan gagang telepon yang kemudian jatuh lemas.
Ricardo masih bisa mendengar suara tendangan dan pukulan yang
menghantam segala benda di ruang itu. Sesekali terdengar jeritan
orang-orang digebuk. Kengerian yang didengar lewat telepon itu terdengar
hingga beberapa menit hingga akhirnya, tuuut?, hubungan terputus.
“Ini keadaannya sudah enggak bener, Mbak,” kata Ricardo kepada Megawati,
yang tampak makin gelisah. “Sekarang saya mau bilang apa, mau ngapain?
Sudah, kamu temani saya di sini,” jawab Mega. Sang empunya rumah
kemudian memerintahkannya memusnahkan dokumen yang kira-kira tidak
baik?begitu istilah yang dipakai. Ricardo segera naik ke lantai dua.
Mesin penghancur kertas tangkas merajam dokumen dari tumpukan kertas di
ruang itu.
Jarum jam seakan bergerak lebih lambat, sementara dering telepon makin
sering terdengar. Tak lama kemudian satu per satu para tokoh pendukung
Megawati mulai berdatangan. Mulai dari Sophan Sophiaan, Mangara Siahaan,
Dimyati Hartono, Eros Djarot, dan beberapa tokoh lainnya. Beberapa di
antara mereka melaporkan suasana terakhir di Jalan Diponegoro.
Semua yang hadir mendesak Megawati agar segera turun ke lapangan,
sementara Megawati tidak memberi komentar sedikit pun. Semua yang hadir
menangis. Wajah lelah mereka makin tampak kuyu. Mereka tidak akan
berpikir dua kali jika Megawati memerintahkan serangan balik. “Kita
semua sudah stay di Kebagusan,” kata Eros.
Setelah lama menanti tidak tahu apa yang harus dikerjakan, satu per satu
tetamu itu meninggalkan Kebagusan sekitar pukul tiga sore. Tiba-tiba
sebuah pesan melalui faksimile yang berisi daftar korban masuk ke
Kebagusan. Alamat pengirimnya kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), yang
letaknya hanya seratusan meter dari kantor PDI yang telah diambil alih.
“Entah siapa yang mengirim, karena saya tahu saat itu LBH sudah diduduki
militer,” kata Ricardo.
Pesan itu menyebut ada 59 orang menjadi korban. Namun, tidak jelas
apakah ada korban yang meninggal. Membaca laporan itu, Mega meminta
stafnya menghubungi orang-orang yang dikhawatirkan menjadi korban.
Ternyata pesan itu bukanlah satu-satunya. Menjelang petang, mesin
faksimile terus-menerus memuntahkan pesan yang dikirim dari segala
penjuru, mulai data korban dari berbagai versi, ucapan simpati, sampai
sekadar kalimat-kalimat pemompa semangat. Namun suasana di Kebagusan
tetap tenang.
Jumlah korban masih simpang-siur. Tiga bulan kemudian, Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia menyebut korban tewas hanya lima orang, itu pun
terjadi di luar gedung. Namun sejumlah saksi mata meyakini korban di
dalam gedung bisa mencapai belasan orang. Orang pun berandai-andai.
Kalau saja Megawati tahu penyerbuan akan terjadi hari itu, mungkin
jatuhnya korban bisa dihindari.
Namun, banyak yang meragukan Megawati tidak tahu peristiwa itu bakal
terjadi. Salah satunya Alex Widya Siregar?saat itu menjadi Wakil
Bendahara PDI versi Soerjadi?yang mengaku bertanggung jawab atas
penyerbuan itu. Pada 21 Juli, Alex merekrut Sena Bela, yang mengaku
sebagai koordinator preman, di Kebun Raya Bogor. Sena ternyata gagal
membuktikan janjinya membawa 5.000 preman untuk membantu penyerbuan.
Alex yang marah kemudian mengusir Sena. Sena ternyata langsung membelot
ke kubu Mega dan membocorkan rencana penyerangan itu.
Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), R.O. Tambunan, mengatakan
Megawati pernah berterus terang kepadanya. Saat itu Mega mengaku
mendapat informasi penyerbuan akan dilakukan pada hari Sabtu dari
seorang mantan petinggi militer. “Benny Moerdani. Dia telepon saya,”
kata Tambunan menirukan ucapan Megawati. Bahkan dalam persidangan kasus
korban 27 Juli, yang berlangsung setahun setelah peristiwa penyerangan,
Megawati juga mengaku sudah tahu rencana tersebut sebelum hari
penyerangan.
“Dia (Megawati) sudah tahu dua hari sebelumnya,” kata Eros Djarot, yang
kini mendirikan PNBK. Bahkan anak-anak pergerakan yang terlibat panggung
demokrasi di Jalan Diponegoro juga sudah tahu. Makanya, sejak pukul dua
malam, Eros memerintahkan mereka keluar dari Diponegoro. Namun ada pula
yang tinggal, seperti Albert, yang akhirnya harus mereparasi kulit
kepalanya yang sobek.
Haryanto Taslam, yang saat itu menjabat Wakil Sekjen DPP PDI, menguatkan
pernyataan Eros. Menurut dia, malam itu pimpinan PDI mengalihkan
koordinator keamanan dari Mangara Siahaan ke Soesilo Muslim, mantan
Mayor Kopasgat (Komando Pasukan Gerak Cepat). “Ketika itu dia (Soesilo)
sudah kontrak mati,” kata Taslam. Hanya, serangan yang diduga akan
terjadi tengah malam ternyata molor hingga pagi hari. Akibatnya, saat
serangan terjadi, semua anggota satgas baru saja tidur setelah berjaga
sepanjang malam.
Para tokoh yang saat itu berada di sekitar Mega ini akhirnya harus
menelan kekecewaan. Taslam dan Eros masih ingat para korban yang
tergabung dalam Forum Komunikasi Korban 124 saat bertemu Megawati
menanyakan sikap dan tanggung jawab partai terhadap para korban
peristiwa itu. Pertemuan itu terjadi April 2000, saat Megawati sudah
jadi wakil presiden.
Ternyata jawaban Megawati di luar dugaan, termasuk Taslam, yang waktu
itu diminta menemani sebagai fungsionaris PDI Perjuangan. Megawati balik
bertanya pada para korban, “Siapa suruh kalian datang ke Diponegoro?
Siapa suruh kalian membela saya?” begitu Taslam menirukan kalimat
Megawati. Para korban kehilangan kata-kata. Mereka langsung menangis.
Ternyata Fraksi PDI Perjuangan sendiri tidak mendukung langkah
pengungkapan kasus ini.
Eros juga merasa heran dengan sikap Megawati ini. Menurut dia, setelah
peristiwa 27 Juli itu Megawati selalu berusaha menghindar melewati
kantor yang menjadi simbol perjuangan PDI tersebut. Bahkan hingga dua
minggu menjelang Sidang Umum MPR 1999, Megawati masih menitikkan air
mata saat terpaksa melintas di depan kantor tersebut. “Saya tidak
ngerti, apa artinya air mata itu?” tanya Eros.
Sayangnya, permohonan TEMPO untuk mewawancarai Presiden Megawati belum
mendapat jawaban hingga berita ini ditulis. Namun Sekjen PDI Perjuangan,
Sutjipto, memastikan Megawati tidak tahu hari penyerbuan itu. Dia
mengaku sebagai orang pertama yang tersinggung kalau memang Megawati
membiarkan peristiwa itu terjadi. “Kalau ancaman-ancaman (akan ada
serangan) yang diterima sebelumnya itu kan biasa,” ujarnya.
“Misteri Diponegoro pun belum terkuak seluruhnya.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/07/26/LU/mbm.20040726.LU94166.id.html
No comments:
Post a Comment