Translate
Saturday, October 29, 2016
Friday, July 29, 2016
Monday, May 30, 2016
Soekarno Target CIA
By:
Unknown
on 9:52 AM
by penasoekarno
TANGGAL 7 Desember 1957, pukul 19.39, Laksamana Felix Stump, panglima tertinggi Angkatan Laut (AL) AS di Pasifik, menerima perintah melalui radiogram dari Kepala Operasi Angkatan Laut (AL) Laksamana Arleigh Burke. Isinya, dalam empat jam ke depan gugus satuan tugas di Teluk Subic, Filipina, bergerak menuju selatan ke perairan Indonesia. “Keadaan di Indonesia akan menjadi lebih kritis,” demikian salah satu kalimat dalam radiogram tersebut.
Kesibukan luar biasa segera terlihat di pangkalan AL AS. Malam itu juga satuan tugas dengan kekuatan satu divisi kapal perusak, dipimpin kapal penjelajah Pricenton, bergerak mengangkut elemen tempur dari Divisi Marinir III dan sedikitnya 20 helikopter. “Berangkatkan pasukan, kapal penjelajah dan kapal perusak dengan kecepatan 20 knots, yang lainnya dengan kecepatan penuh. Jangan berlabuh di pelabuhan mana pun,” bunyi perintah Laksamana Burke.
Inilah keadaan paling genting, yang tidak sepenuhnya diketahui rakyat Indonesia. Perpecahan dalam tubuh Angkatan Darat, antara mereka yang pro dan kontra Jenderal Nasution, serta yang tidak menyukai Presiden Soekarno, mencapai titik didih. Pada saat yang sama, beragam partai politik ikut terbelah memperebutkan kekuasaan.
Kabinet jatuh bangun. Usianya rata-rata hanya 11 bulan. Paling lama bertahan hanyalah Kabinet Juanda (23 bulan), yang merupakan koalisi PNI-NU. Situasi memanas menjalar ke daerah, benteng terakhir para elite politik di pusat. Daerah terus bergolak. Pembangkangan terhadap Jakarta dimulai sejak militer menyelundupkan karet, kopra, dan hasil bumi lainnya.
Militer Indonesia yang lahir dan berkembang dari milisi berdasarkan orientasi ideologi pimpinannya, bukanlah jenis pretorian. Mereka tetap kepanjangan dari parpol, entah itu PNI, PSI, Masyumi, PKI, dan seterusnya. Terlalu kekanak-kanakan jika dikatakan tindakan sekelompok perwira mengepung Istana Bogor dan mengarahkan meriam pada 17 Oktober 1952 sebagai ekspresi ketidakpuasan semata, dan bukan percobaan “kudeta” terselubung. Demikian pula ketika Kolonel Zulkifli Lubis mencoba menguasai Jakarta, sebelum kemudian merencanakan pembunuhan atas Presiden Soekarno dalam Peristiwa Cikini, dengan eksekutor keponakan pimpinan salah satu parpol.
Bagi Gedung Putih, inilah saat tepat melaksanakan rencana tahap III, yaitu intervensi militer terbuka ke wilayah RI. Presiden Soekarno harus tamat segera. CIA di bawah Allen Dulles telah mematangkan situasi. Melalui jaringannya di Singapura, Jakarta, dan London, sebagaimana dikemukakan Audrey R Kahin dan George McT Kahin dalam bukunya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Subversi Sebagai Politik Luar Negeri, agen-agen CIA berulang kali melakukan kontak khusus dengan Sumitro Djojohadikusumo, pencari dana untuk pemberontakan tersebut. Demikian pula dengan para perwira pembangkang seperti Kolonel Simbolon, Kolonel Fence Sumual, dan sejumlah perwira dan tokoh parpol lainnya.
Namun, ketika perintah menggerakkan elemen Armada VII dikeluarkan, keputusan itu tampak tergesa-gesa yaitu kurang dua jam setelah pembicaraan melalui telepon antara Presiden Eisenhower dengan Menlu John Foster Dulles. Itu sebabnya ketika gugus tugas AL di Teluk Subic bergerak, barulah kedua tokoh ini sadar atas alasan apa intervensi nantinya dilakukan.
Pemerintah Inggris, sekutu terdekat AS, sempat terperanjat dan menolaknya, sehingga kapal-kapal perang tersebut kembali ke pangkalannya. Namun, setelah lobi-lobi intensif, tanggal 23 Desember 1957 PM Harold Macmillan menyetujuinya dan membentuk kerja sama operasi untuk Indonesia.
***
PERTENGAHAN tahun 1958 Gedung Putih akhirnya harus mengakui kegagalannya “menegakkan demokrasi” dan “membendung komunisme” di Indonesia. KSAD Jenderal AH Nasution yang disebut AS sebagai antikomunis, bergerak di luar perkiraan. Ia menerjunkan pasukan para merebut Bandara Pekanbaru. Dari pantai timur, didaratkan Marinir untuk menggunting pertahanan pemberontak. Alhasil, Dumai yang merupakan ladang minyak Caltex, berhasil diamankan.
Pasukan Kolonel Akhmad Husein kocar-kacir, meninggalkan segala peralatan perang, termasuk senjata antiserangan udara yang belum sempat digunakan. Mereka tidak mengira serangan dadakan itu. Pesan rahasia dari Armada VII AS agar meledakkan Caltex tidak sempat lagi dipikirkan. Padahal inilah nantinya akan dijadikan kunci intervensi AS ke Indonesia. Dua batalyon Marinir AS sudah siaga penuh. Dalam tempo 12 jam, Marinir ini akan tiba di Dumai.
Sejak itu sesungguhnya tamatlah riwayat PRRI yang dimotori para kolonel pembangkang serta tokoh PSI dan Masyumi. Pentagon tercengang.
Pasukan PRRI makin terdesak, walaupun Sumitro Djojohadikusumo sebagai wakil PRRI di pengasingan tetap optimis. Kota demi kota berhasil direbut TNI hingga akhirnya para pemberontak hanya mampu melakukan perang gerilya terbatas. Bersamaan dengan itu dukungan rakyat kepada pasukan Kolonel Simbolon, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Akhmad Husein, Kolonel Dahlan Djambek, dan sejumlah perwira menengah lainnya, makin menciut. Bahkan terjangkit perpecahan intern.
CIA gagal membaca situasi. Atas rekomendasi CIA pula sedikitnya AS telah mengedrop persenjataan bagi 8.000 prajurit pemberontak. Ini belum mencakup meriam, mortir, senapan mesin berat, dan senjata antitank. AS juga melatih sejumlah prajurit Dewan Banteng dan Dewan Gajah, yang diangkut dengan kapal selam menuju pangkalan militernya di Okinawa, Jepang. Keunggulan dalam sistem persenjataan dan pendidikan militer, ternyata bukan jaminan superioritas dalam setiap pertempuran.
Penguasa Gedung Putih mulai patah semangat. Tanda kekalahan kelompok yang dibantu, yang disebutnya “patriot” sejati itu, makin jelas. Tetapi, CIA dengan intelijen AL AS, tetap memasok informasi keliru. Dalam laporannya, kekalahan pemberontak antikomunis akan mengguncang Malaya, Thailand, Kamboja, dan Laos. Ini sangat berbahaya. Atas pertimbangan itu, AS akhirnya tetap melanjutkan bantuan pada pemberontak, khususnya Permesta di Sulawesi Utara.
Belajar dari kekalahan PRRI di Sumatera, di Sulawesi Utara penerbang AS dan Taiwan memberi perlindungan payung udara bagi Permesta. Pesawat pembom malang-melintang memutus jalur transportasi laut. Ambon, Makassar, bahkan Balikpapan dihujani bom. Korban terus berjatuhan.
Namun, semua usaha ini juga menemukan kegagalan untuk menekan Jakarta. Ofensif dibalas dengan ofensif. Jenderal Nasution terus mengerahkan pasukan terbaiknya untuk merebut satu per satu pertahanan Permesta. Puncaknya ketika ALRI menembak jatuh pesawat pembom yang dikemudikan Allen Pope, warga negara AS, di Teluk Ambon pada 18 Mei 1958. Peristiwa ini tidak saja mengejutkan publik AS, tetapi juga masyarakat internasional. Apalagi Allen Pope mengaku bekerja untuk CIA. Kecaman terhadap agresi AS mulai mengalir.
Tanpa sedikit pun merasa bersalah, AS kemudian dengan gampang putar haluan. Dari membantu peralatan perang dan pelatihan pemberontak, serta menyebarkan informasi bohong mengenai ancaman komunis terhadap stabilitas Asia Tenggara jika pemberontak kalah, Gedung Putih kemudian memutuskan membantu ekonomi dan militer Indonesia.
Namun, kebijakan baru ini bukan berarti terputusnya hubungan dengan pemberontak yang disebutnya masih punya “masa depan” itu. Melalui jaringan CIA, sejumlah senjata ringan masih dipasok bagi DI/TII di Sulawesi dan Aceh, serta Permesta di Sulut. Presiden Eisenhower menyebutnya sebagai “bermain di dua pihak”.
***
KEBIJAKAN bermuka dua ini, tanpa peduli apa dan berapa banyak korban jiwa dan harta benda.
Lantas di balik selubung bahaya ancaman komunisme, AS selalu berhasil memperdayai elite militer dan politik Indonesia.
Gambaran lebih jelas mengenai Indonesia dikemukakan Presiden Eisenhower dalam konferensi gubernur negara bagian AS tahun 1953. Ia mengatakan, sumbangan AS sebesar 400 juta dollar AS membantu Perancis dalam perang Vietnam bukanlah sia-sia. Jika Vietnam jatuh ke tangan komunis, negara tetangganya akan menyusul pula. “Kita tidak boleh kehilangan Indonesia yang sangat kaya sumber daya alamnya,” ujarnya.
Bagi AS, di dunia ini hanya dikenal dua blok, yaitu komunis dan liberal. Di luar jalur itu dikategorikan sebagai condong ke komunis. Maka dengan kosmetik demikianlah bagi AS tidak ada ampun untuk seorang nasionalis seperti Soekarno. Tahap pertama operasi intelijen dengan membantu dana dua partai politik besar yang disebutnya antikomunis, agar bisa merebut suara dalam Pemilu 1955. Perolehan suara ini diharapkan akan mengurangi dukungan bagi Soekarno.
Perkiraan ini meleset. PKI yang paling tidak disukai AS dan dianggap loyal terhadap Soekarno, justru memperoleh jumlah suara mengejutkan, hingga menempatkannya di urutan kelima. Padahal tujuh tahun sebelumnya, atau tahun 1948, PKI sudah dihancurkan dalam peristiwa Madiun.
Peristiwa Madiun yang diprakarsai Muso tidak lama setelah kembali dari pengembaraannya di dunia Marxisme-Leninisme di Uni Soviet, mustahil dapat dipadamkan tanpa sikap tegas Bung Karno.
CIA tidak memahami ini. Bung Karno tetap dianggap condong ke blok komunis. Itu sebabnya setelah gagal mendanai dua partai politik dalam pemilu, CIA kemudian mencoba cara lain yang lebih keras, yaitu “menetralisir” Bung Karno.
Peristiwa penggranatan tanggal 30 November 1957 atau lebih dikenal dengan sebutan Peristiwa Cikini, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari skenario CIA. Walaupun bukti dalam peristiwa yang menewaskan 11 orang dan 30 lainnya cedera masih simpang-siur, tetapi indikasi keterlibatan CIA sangat jelas.
Pengakuan Richard Bissell Jr, mantan Wakil Direktur CIA bidang Perencanaan pada masa Allan Dulles, kepada Senator Frank Church, Ketua Panitia Pemilihan Intelijen Senat tahun 1975, yang melakukan penyelidikan atas kasus tersebut, membuktikan itu. Ia menyebut sejumlah nama kepala negara, termasuk Presiden Soekarno, untuk “dipertimbangkan” dibunuh. Bagaimana kelanjutannya, ia tidak mengetahui. Bung Karno sendiri yakin CIA di belakang peristiwa ini. David Johnson, Direktur Centre for Defence Information di Washington, juga membuat laporan sebagai masukan bagi Komite Church.
Peristiwa Cikini yang dirancang Kolonel Zulkifli Lubis, yang dikenal sebagai pendiri intelijen Indonesia, bukanlah satu-satunya upaya percobaan pembunuhan atas Bung Karno. Maukar, penerbang pesawat tempur TNI AU, juga pernah menjatuhkan bom dan menghujani mitraliur dari udara ke Istana Presiden.
Presiden Eisenhower sendiri memutuskan dengan tergesa persiapan invasi ke Indonesia sepekan setelah percobaan pembunuhan yang gagal dalam Peristiwa Cikini. Ia makin kehilangan kesabaran. Apalagi peristiwa itu justru makin memperkuat dukungan rakyat pada Bung Karno.
Ketegangan Bung Karno dengan Gedung Putih mulai mengendur setelah Presiden JF Kennedy terpilih sebagai Presiden AS. Ia malah mengundang Bung Karno berkunjung ke Washington. Dalam pandangan Kennedy, seandainya pun Bung Karno membenci AS, tidak ada salahnya diajak duduk bersama. Kennedy yang mengutus adiknya bertemu Bung Karno di Jakarta, berhasil mencairkan hati proklamator ini hingga membebaskan penerbang Allan Pope.
Begitu Kennedy tewas terbunuh, suatu hal yang membuat duka Bung Karno, hubungan Jakarta-Washington kembali memanas. Penggantinya, Presiden Johnson yang disebut-sebut di bawah “todongan” CIA, terpaksa mengikuti kehendak badan intelijen yang “mengangkatnya” ke kursi kepresidenan. Pada masa ini pula seluruh kawasan Asia Tenggara seperti terbakar.
CIA yang terampil dalam perang propaganda, kembali menampilkan watak sesungguhnya. Fitnah dan berita bohong mengenai Bung Karno diproduksi dan disebar melalui jaringan media massa yang berada di bawah pengaruhnya. Tujuannya mendiskreditkan proklamator itu. Hanya di depan publik menyatakan gembira atas kebebasan Allan Pope, tetapi diam-diam diproduksi berita bahwa kebebasan itu terjadi setelah istri Allan Pope berhasil merayu Bung Karno. Sedang pengeboman istana oleh Maukar, diisukan secara sistematis sebagai tindak balas setelah Bung Karno mencoba menggoda istri penerbang itu.
CIA terus melakukan berbagai trik perang urat syaraf mendiskreditkan Bung Karno. Termasuk di antaranya Bung Karno berbuat tidak senonoh terhadap pramuria Soviet dalam penerbangan ke Moskwa. Jauh sebelum itu, Sheffield Edwards, Kepala Keamanan CIA pada masa Allan Dulles, pernah meminta bantuan Kepala Kepolisian Los Angeles untuk dibuatkan film cabul dengan peran pria berpostur seperti Bung Karno.
Dalam satu artikel di majalah Probe, Mei 1996, Lisa Pease yang mengumpulkan berbagai arsip dan dokumen, termasuk dokumen CIA yang sudah dideklasifikasikan, menyebut yang terlibat dalam pembuatan film itu Robert Maheu, sahabat milyarder Howard Hughes, serta bintang terkenal Bing Crosby dan saudaranya.
Lantas apa akhir semua ini?
Labels:
Soekarno
Megawati dan Benny Moerdani Dalang Kudatuli
By:
Unknown
on 8:02 AM
Diponegoro 58, Suatu Hari pada 1996
Di ujung lain telepon, Soesilo Muslim melapor dengan terburu-buru. Wakil Komandan Satgas PDI pro-Mega itu melaporkan adanya serangan terhadap kantor PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, tempat ia sedang berada. Suara teriakan dan benda-benda beradu nyaris menenggelamkan suaranya. Pesan yang tertangkap, Muslim mengaku baru saja menolak tawaran Komandan Kodim dan Kepala Polres Jakarta Pusat yang memintanya menyerah dan meninggalkan kantor itu.
Dari Kebagusan yang sejuk, Megawati memberi perintah. “Pak Muslim, Bapak tetap di tempat dan jangan melakukan apa-apa.” Gagang telepon kembali diletakkan. Sebentar berlalu, Ricardo, seorang staf pribadi Megawati, datang ke rumah yang asri itu. Megawati, yang masih memakai daster warna krem, memanggilnya. “Kamu temani saya di sini,” permintaan Mega kepada Ricardo, yang kini menjadi Wakil Sekjen Partai Nasionalis Bung Karno (PNBK).
Ricardo, yang menceritakan kembali kejadian nahas itu, mencoba menghubungi nomor telepon ruang ketua umum di Jalan Diponegoro. Seorang satgas dari Papua mengangkatnya dengan napas memburu. Belum lagi obrolan dimulai, terdengar suara pintu yang somplak karena didobrak. Satgas itu langsung melompat melemparkan gagang telepon yang kemudian jatuh lemas. Ricardo masih bisa mendengar suara tendangan dan pukulan yang menghantam segala benda di ruang itu. Sesekali terdengar jeritan orang-orang digebuk. Kengerian yang didengar lewat telepon itu terdengar hingga beberapa menit hingga akhirnya, tuuut?, hubungan terputus.
“Ini keadaannya sudah enggak bener, Mbak,” kata Ricardo kepada Megawati, yang tampak makin gelisah. “Sekarang saya mau bilang apa, mau ngapain? Sudah, kamu temani saya di sini,” jawab Mega. Sang empunya rumah kemudian memerintahkannya memusnahkan dokumen yang kira-kira tidak baik?begitu istilah yang dipakai. Ricardo segera naik ke lantai dua. Mesin penghancur kertas tangkas merajam dokumen dari tumpukan kertas di ruang itu.
Jarum jam seakan bergerak lebih lambat, sementara dering telepon makin sering terdengar. Tak lama kemudian satu per satu para tokoh pendukung Megawati mulai berdatangan. Mulai dari Sophan Sophiaan, Mangara Siahaan, Dimyati Hartono, Eros Djarot, dan beberapa tokoh lainnya. Beberapa di antara mereka melaporkan suasana terakhir di Jalan Diponegoro.
Semua yang hadir mendesak Megawati agar segera turun ke lapangan, sementara Megawati tidak memberi komentar sedikit pun. Semua yang hadir menangis. Wajah lelah mereka makin tampak kuyu. Mereka tidak akan berpikir dua kali jika Megawati memerintahkan serangan balik. “Kita semua sudah stay di Kebagusan,” kata Eros.
Setelah lama menanti tidak tahu apa yang harus dikerjakan, satu per satu tetamu itu meninggalkan Kebagusan sekitar pukul tiga sore. Tiba-tiba sebuah pesan melalui faksimile yang berisi daftar korban masuk ke Kebagusan. Alamat pengirimnya kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), yang letaknya hanya seratusan meter dari kantor PDI yang telah diambil alih. “Entah siapa yang mengirim, karena saya tahu saat itu LBH sudah diduduki militer,” kata Ricardo.
Pesan itu menyebut ada 59 orang menjadi korban. Namun, tidak jelas apakah ada korban yang meninggal. Membaca laporan itu, Mega meminta stafnya menghubungi orang-orang yang dikhawatirkan menjadi korban. Ternyata pesan itu bukanlah satu-satunya. Menjelang petang, mesin faksimile terus-menerus memuntahkan pesan yang dikirim dari segala penjuru, mulai data korban dari berbagai versi, ucapan simpati, sampai sekadar kalimat-kalimat pemompa semangat. Namun suasana di Kebagusan tetap tenang.
Jumlah korban masih simpang-siur. Tiga bulan kemudian, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut korban tewas hanya lima orang, itu pun terjadi di luar gedung. Namun sejumlah saksi mata meyakini korban di dalam gedung bisa mencapai belasan orang. Orang pun berandai-andai. Kalau saja Megawati tahu penyerbuan akan terjadi hari itu, mungkin jatuhnya korban bisa dihindari.
Namun, banyak yang meragukan Megawati tidak tahu peristiwa itu bakal terjadi. Salah satunya Alex Widya Siregar?saat itu menjadi Wakil Bendahara PDI versi Soerjadi?yang mengaku bertanggung jawab atas penyerbuan itu. Pada 21 Juli, Alex merekrut Sena Bela, yang mengaku sebagai koordinator preman, di Kebun Raya Bogor. Sena ternyata gagal membuktikan janjinya membawa 5.000 preman untuk membantu penyerbuan. Alex yang marah kemudian mengusir Sena. Sena ternyata langsung membelot ke kubu Mega dan membocorkan rencana penyerangan itu.
Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), R.O. Tambunan, mengatakan Megawati pernah berterus terang kepadanya. Saat itu Mega mengaku mendapat informasi penyerbuan akan dilakukan pada hari Sabtu dari seorang mantan petinggi militer. “Benny Moerdani. Dia telepon saya,” kata Tambunan menirukan ucapan Megawati. Bahkan dalam persidangan kasus korban 27 Juli, yang berlangsung setahun setelah peristiwa penyerangan, Megawati juga mengaku sudah tahu rencana tersebut sebelum hari penyerangan.
“Dia (Megawati) sudah tahu dua hari sebelumnya,” kata Eros Djarot, yang kini mendirikan PNBK. Bahkan anak-anak pergerakan yang terlibat panggung demokrasi di Jalan Diponegoro juga sudah tahu. Makanya, sejak pukul dua malam, Eros memerintahkan mereka keluar dari Diponegoro. Namun ada pula yang tinggal, seperti Albert, yang akhirnya harus mereparasi kulit kepalanya yang sobek.
Haryanto Taslam, yang saat itu menjabat Wakil Sekjen DPP PDI, menguatkan pernyataan Eros. Menurut dia, malam itu pimpinan PDI mengalihkan koordinator keamanan dari Mangara Siahaan ke Soesilo Muslim, mantan Mayor Kopasgat (Komando Pasukan Gerak Cepat). “Ketika itu dia (Soesilo) sudah kontrak mati,” kata Taslam. Hanya, serangan yang diduga akan terjadi tengah malam ternyata molor hingga pagi hari. Akibatnya, saat serangan terjadi, semua anggota satgas baru saja tidur setelah berjaga sepanjang malam.
Para tokoh yang saat itu berada di sekitar Mega ini akhirnya harus menelan kekecewaan. Taslam dan Eros masih ingat para korban yang tergabung dalam Forum Komunikasi Korban 124 saat bertemu Megawati menanyakan sikap dan tanggung jawab partai terhadap para korban peristiwa itu. Pertemuan itu terjadi April 2000, saat Megawati sudah jadi wakil presiden.
Ternyata jawaban Megawati di luar dugaan, termasuk Taslam, yang waktu itu diminta menemani sebagai fungsionaris PDI Perjuangan. Megawati balik bertanya pada para korban, “Siapa suruh kalian datang ke Diponegoro? Siapa suruh kalian membela saya?” begitu Taslam menirukan kalimat Megawati. Para korban kehilangan kata-kata. Mereka langsung menangis. Ternyata Fraksi PDI Perjuangan sendiri tidak mendukung langkah pengungkapan kasus ini.
Eros juga merasa heran dengan sikap Megawati ini. Menurut dia, setelah peristiwa 27 Juli itu Megawati selalu berusaha menghindar melewati kantor yang menjadi simbol perjuangan PDI tersebut. Bahkan hingga dua minggu menjelang Sidang Umum MPR 1999, Megawati masih menitikkan air mata saat terpaksa melintas di depan kantor tersebut. “Saya tidak ngerti, apa artinya air mata itu?” tanya Eros.
Sayangnya, permohonan TEMPO untuk mewawancarai Presiden Megawati belum mendapat jawaban hingga berita ini ditulis. Namun Sekjen PDI Perjuangan, Sutjipto, memastikan Megawati tidak tahu hari penyerbuan itu. Dia mengaku sebagai orang pertama yang tersinggung kalau memang Megawati membiarkan peristiwa itu terjadi. “Kalau ancaman-ancaman (akan ada serangan) yang diterima sebelumnya itu kan biasa,” ujarnya.
“Misteri Diponegoro pun belum terkuak seluruhnya.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/07/26/LU/mbm.20040726.LU94166.id.html
Read More
Di ujung lain telepon, Soesilo Muslim melapor dengan terburu-buru. Wakil Komandan Satgas PDI pro-Mega itu melaporkan adanya serangan terhadap kantor PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, tempat ia sedang berada. Suara teriakan dan benda-benda beradu nyaris menenggelamkan suaranya. Pesan yang tertangkap, Muslim mengaku baru saja menolak tawaran Komandan Kodim dan Kepala Polres Jakarta Pusat yang memintanya menyerah dan meninggalkan kantor itu.
Dari Kebagusan yang sejuk, Megawati memberi perintah. “Pak Muslim, Bapak tetap di tempat dan jangan melakukan apa-apa.” Gagang telepon kembali diletakkan. Sebentar berlalu, Ricardo, seorang staf pribadi Megawati, datang ke rumah yang asri itu. Megawati, yang masih memakai daster warna krem, memanggilnya. “Kamu temani saya di sini,” permintaan Mega kepada Ricardo, yang kini menjadi Wakil Sekjen Partai Nasionalis Bung Karno (PNBK).
Ricardo, yang menceritakan kembali kejadian nahas itu, mencoba menghubungi nomor telepon ruang ketua umum di Jalan Diponegoro. Seorang satgas dari Papua mengangkatnya dengan napas memburu. Belum lagi obrolan dimulai, terdengar suara pintu yang somplak karena didobrak. Satgas itu langsung melompat melemparkan gagang telepon yang kemudian jatuh lemas. Ricardo masih bisa mendengar suara tendangan dan pukulan yang menghantam segala benda di ruang itu. Sesekali terdengar jeritan orang-orang digebuk. Kengerian yang didengar lewat telepon itu terdengar hingga beberapa menit hingga akhirnya, tuuut?, hubungan terputus.
“Ini keadaannya sudah enggak bener, Mbak,” kata Ricardo kepada Megawati, yang tampak makin gelisah. “Sekarang saya mau bilang apa, mau ngapain? Sudah, kamu temani saya di sini,” jawab Mega. Sang empunya rumah kemudian memerintahkannya memusnahkan dokumen yang kira-kira tidak baik?begitu istilah yang dipakai. Ricardo segera naik ke lantai dua. Mesin penghancur kertas tangkas merajam dokumen dari tumpukan kertas di ruang itu.
Jarum jam seakan bergerak lebih lambat, sementara dering telepon makin sering terdengar. Tak lama kemudian satu per satu para tokoh pendukung Megawati mulai berdatangan. Mulai dari Sophan Sophiaan, Mangara Siahaan, Dimyati Hartono, Eros Djarot, dan beberapa tokoh lainnya. Beberapa di antara mereka melaporkan suasana terakhir di Jalan Diponegoro.
Semua yang hadir mendesak Megawati agar segera turun ke lapangan, sementara Megawati tidak memberi komentar sedikit pun. Semua yang hadir menangis. Wajah lelah mereka makin tampak kuyu. Mereka tidak akan berpikir dua kali jika Megawati memerintahkan serangan balik. “Kita semua sudah stay di Kebagusan,” kata Eros.
Setelah lama menanti tidak tahu apa yang harus dikerjakan, satu per satu tetamu itu meninggalkan Kebagusan sekitar pukul tiga sore. Tiba-tiba sebuah pesan melalui faksimile yang berisi daftar korban masuk ke Kebagusan. Alamat pengirimnya kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), yang letaknya hanya seratusan meter dari kantor PDI yang telah diambil alih. “Entah siapa yang mengirim, karena saya tahu saat itu LBH sudah diduduki militer,” kata Ricardo.
Pesan itu menyebut ada 59 orang menjadi korban. Namun, tidak jelas apakah ada korban yang meninggal. Membaca laporan itu, Mega meminta stafnya menghubungi orang-orang yang dikhawatirkan menjadi korban. Ternyata pesan itu bukanlah satu-satunya. Menjelang petang, mesin faksimile terus-menerus memuntahkan pesan yang dikirim dari segala penjuru, mulai data korban dari berbagai versi, ucapan simpati, sampai sekadar kalimat-kalimat pemompa semangat. Namun suasana di Kebagusan tetap tenang.
Jumlah korban masih simpang-siur. Tiga bulan kemudian, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut korban tewas hanya lima orang, itu pun terjadi di luar gedung. Namun sejumlah saksi mata meyakini korban di dalam gedung bisa mencapai belasan orang. Orang pun berandai-andai. Kalau saja Megawati tahu penyerbuan akan terjadi hari itu, mungkin jatuhnya korban bisa dihindari.
Namun, banyak yang meragukan Megawati tidak tahu peristiwa itu bakal terjadi. Salah satunya Alex Widya Siregar?saat itu menjadi Wakil Bendahara PDI versi Soerjadi?yang mengaku bertanggung jawab atas penyerbuan itu. Pada 21 Juli, Alex merekrut Sena Bela, yang mengaku sebagai koordinator preman, di Kebun Raya Bogor. Sena ternyata gagal membuktikan janjinya membawa 5.000 preman untuk membantu penyerbuan. Alex yang marah kemudian mengusir Sena. Sena ternyata langsung membelot ke kubu Mega dan membocorkan rencana penyerangan itu.
Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), R.O. Tambunan, mengatakan Megawati pernah berterus terang kepadanya. Saat itu Mega mengaku mendapat informasi penyerbuan akan dilakukan pada hari Sabtu dari seorang mantan petinggi militer. “Benny Moerdani. Dia telepon saya,” kata Tambunan menirukan ucapan Megawati. Bahkan dalam persidangan kasus korban 27 Juli, yang berlangsung setahun setelah peristiwa penyerangan, Megawati juga mengaku sudah tahu rencana tersebut sebelum hari penyerangan.
“Dia (Megawati) sudah tahu dua hari sebelumnya,” kata Eros Djarot, yang kini mendirikan PNBK. Bahkan anak-anak pergerakan yang terlibat panggung demokrasi di Jalan Diponegoro juga sudah tahu. Makanya, sejak pukul dua malam, Eros memerintahkan mereka keluar dari Diponegoro. Namun ada pula yang tinggal, seperti Albert, yang akhirnya harus mereparasi kulit kepalanya yang sobek.
Haryanto Taslam, yang saat itu menjabat Wakil Sekjen DPP PDI, menguatkan pernyataan Eros. Menurut dia, malam itu pimpinan PDI mengalihkan koordinator keamanan dari Mangara Siahaan ke Soesilo Muslim, mantan Mayor Kopasgat (Komando Pasukan Gerak Cepat). “Ketika itu dia (Soesilo) sudah kontrak mati,” kata Taslam. Hanya, serangan yang diduga akan terjadi tengah malam ternyata molor hingga pagi hari. Akibatnya, saat serangan terjadi, semua anggota satgas baru saja tidur setelah berjaga sepanjang malam.
Para tokoh yang saat itu berada di sekitar Mega ini akhirnya harus menelan kekecewaan. Taslam dan Eros masih ingat para korban yang tergabung dalam Forum Komunikasi Korban 124 saat bertemu Megawati menanyakan sikap dan tanggung jawab partai terhadap para korban peristiwa itu. Pertemuan itu terjadi April 2000, saat Megawati sudah jadi wakil presiden.
Ternyata jawaban Megawati di luar dugaan, termasuk Taslam, yang waktu itu diminta menemani sebagai fungsionaris PDI Perjuangan. Megawati balik bertanya pada para korban, “Siapa suruh kalian datang ke Diponegoro? Siapa suruh kalian membela saya?” begitu Taslam menirukan kalimat Megawati. Para korban kehilangan kata-kata. Mereka langsung menangis. Ternyata Fraksi PDI Perjuangan sendiri tidak mendukung langkah pengungkapan kasus ini.
Eros juga merasa heran dengan sikap Megawati ini. Menurut dia, setelah peristiwa 27 Juli itu Megawati selalu berusaha menghindar melewati kantor yang menjadi simbol perjuangan PDI tersebut. Bahkan hingga dua minggu menjelang Sidang Umum MPR 1999, Megawati masih menitikkan air mata saat terpaksa melintas di depan kantor tersebut. “Saya tidak ngerti, apa artinya air mata itu?” tanya Eros.
Sayangnya, permohonan TEMPO untuk mewawancarai Presiden Megawati belum mendapat jawaban hingga berita ini ditulis. Namun Sekjen PDI Perjuangan, Sutjipto, memastikan Megawati tidak tahu hari penyerbuan itu. Dia mengaku sebagai orang pertama yang tersinggung kalau memang Megawati membiarkan peristiwa itu terjadi. “Kalau ancaman-ancaman (akan ada serangan) yang diterima sebelumnya itu kan biasa,” ujarnya.
“Misteri Diponegoro pun belum terkuak seluruhnya.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/07/26/LU/mbm.20040726.LU94166.id.html
Labels:
Sejarah Indonesia
9 Sebutan dan Tipe Keturunan Tionghoa di Indonesia
By:
Unknown
on 7:56 AM
Perantauan
orang Tionghoa di Indonesia umumnya berasal dari dua propinsi besar di
Tiongkok; yaitu Propinsi Fujian dan Propinsi Guangdong. 2 Propinsi ini
secara geografis terletak di sebelah tenggara Tiongkok yang dekat dengan
wilayah perairan laut. Para perantauan tersebut mulai datang dan
tersebar ke Indonesia mulai abad ke 16 sampai abad ke 19.
Setiap perantau yang datang ke Indonesia umumnya membawa kebudayaan suku bangsanya sendiri-sendiri; yang didalamnya termasuk bahasa. Selain bahasa Mandarin, ternyata masih ada 4 dialek bahasa daerah Tiongkok di Indonesia yang cukup banyak penggunanya, yakni :
♦ dialek Hokkian
♦ dialek Teochiu
♦ dialek Hakka
♦ dialek Kanton

Kepandaian dalam berdagang bangsa Tiongkok setelah berabad-abad lamanya ternyata masih tampak jelas pada keturunannya saat ini menetap di Indonesia. Mereka disebut etnis Tionghoa. Rata-rata dari mereka sangat ulet, rajin dan tahan ujian. Perantauan orang Hokkian dan keturunannya yang telah berasimilasi sebagian besar tersebar di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Barat Sumatra.
Perantauan Tionghoa yang lain adalah orang Teochiu, yang berasal dari pantai Selatan Tiongkok daerah pedalaman Shantou, bagian timur propinsi Guangdong. Tempat tinggal mereka berada di pedalaman propinsi Guangdong yang terdiri dari daerah yang bergunung kapur dan tandus.
Selama berlangsungnya gelombang imigrasi mulai tahun 1850 sampai tahun 1930, orang Hakka adalah yang paling miskin diantara para perantau asal Tiongkok lainnya. Mereka bersama-sama orang Teochiu dipekerjakan di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Saat ini orang Hakka mendominasi masyarakat Tionghoa di wilayah-wilayah tambang, seperti di Kalimantan, Sumatra, dan Bangka dan Belitung.
Di sebelah barat dan selatan daerah asal orang Hakka di propinsi Guangdong tinggallah orang Kanton (Konghu). Orang Kanton terkenal di Asia Tenggara sebagai kuli pertambangan. Mereka datang merantau ke Indonesia secara berkelompok pada waktu yang sama dengan orang Hakka, namun keadaan mereka berlainan. Umumnya mereka datang dengan modal yang lebih besar, dan mereka datang dengan ketrampilan teknis dan pertukangan yang tinggi.
Walaupun para perantauan Tiongkok terdiri dari berbagai asal, namun dalam pandangan orang Indonesia mereka hanya dikategorikan ke dalam dua golongan :
♦ Tionghoa – Peranakan : Hasil perkimpoian campur antara orang Tionghoa dan orang asli Indonesia (pribumi) yang sudah beranak-pinak, lahir, besar dan tinggal di Indonsia.
♦ Tionghoa – Totok : Orang Tiongkok yang lahir di Negara asalnya.
Awalnya daerah yang pertama didatangi oleh para perantau Hokkian pada abad ke 16 adalah wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kebanyakan dari mereka berjenis kelamin laki-laki; dan karena hanya ada sedikit wanita Tiongkok yang ikut pada waktu itu, maka perkimpoian campur dengan wanita pribumi banyak terjadi setelahnya.

Peta jalur migrasi bangsa Tiongkok ke kawasan Asia Tenggara dan Indonesia (Ilustrasi : russiancouncil.ru)
Awalnya migrasi perantauan Tiongkok ke wilayah Asia Tenggara terjadi karena keadaan tekanan di negeri sendiri, yang pada waktu itu sedang mengalami masa pergolakan dan revolusi. Pada masa kolonial Belanda, semua orang Tiongkok di Indonesia secara yuridis (hukum) diperlakukan sebagai golongan yang dikenakan sistem hukum perdata yang berbeda dengan orang Indonesia pribumi. Hukum yang diberlakukan bagi para perantauan tersebut adalah hukum yang mengatur bagi orang timur asing.
Pada tahun 1910 pernah ada suatu perjanjian antara pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Tiongkok (waktu itu masih bersistem dinasti; dinasti Qing) yang menetapkan Dwikewarganegaraan bagi orang Tionghoa di Indonesia, agar mereka dapat dikenakan aturan-aturan hukum pemerintah Hindia-Belanda.
Keadaan ini kemudian terus berlanjut sampai Merdekanya Indonesia pada tahun 1945. Pada tahun 1949 pemerintah Belanda akhirnya mengakui dan menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah Indonesia secara penuh. Dengan demikian semua orang Tiongkok di Indonesia yang masih mempunyai status Dwiwarganegaraan pada waktu itu akan berubah menjadi warga Negara Tiongkok merangkap Warga Negara Indonesia.
Saat Konferensi Asia Afrika (KAA) yang Pertama di Bandung pada tahun 1955, Pemerintah Republik Indonesia mengadakan perjanjian dengan pemerintah Tiongkok untuk mengakhiri keadaan ini, sehingga semua orang Tionghoa di Indonesia pada saat itu harus memilih salah satu :

Pilih warga negara Indonesia atau Tiongkok? (Ilustrasi : 123rf.com)
Antara warga Negara Tiongkok (RRC) atau warga Negara Indonesia (WNI)?
Untuk menjadi WNI, para perantauan ini harus bisa membuktikan di pengadilan bahwa ia lahir di Indonesia, dan kemudian menyatakan juga di pengadilan bahwa ia melepaskan kewarganegaraan RRC nya. Ratifikasi atau pengesahan dari perjanjian tersebut baru selesai pada tahun 1960, sedangkan untuk implementasinya dilakukan 2 tahun setelahnya.
Quote:“Pada tahun 1959 terbit Peraturan daerah dengan nomor No.20/1959 yaitu tentang Peraturan Pelaksanaan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan dengan RRT, yang ditetapkan berlaku mulai 20 Januari 1960-20 Januari 1962.
Setelah 2 tahun perjanjian berakhir, mulai terjadi tindakan “pengusiran” terhadap etnis Tionghoa dari daerah kecamatan dan Desa dengan dalih pelaksanaan PP No.10/1959 tentang larangan bagi usaha perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing diluar ibukota daerah tingkat 1 & 2 serta kerasidenan.
Dalam situasi demikian, pemerintah RRT mengirimkan kapal penumpang ke Indonesia dengan tujuan “membantu Huaqiao” kembali ke Tiongkok. Namun baru 4 trip (±40.000 jiwa) yang terangkut, sisanya ±100.000 KK tidak sempat terangkut.” – Tionghoa.INFO
Setelah puluhan tahun kemudian mulai terdapat beberapa sebutan bagi masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia yang umumnya lebih disebabkan karena asal daerah. Beberapa istilah sebutan tersebut sampai sekarang masih sering digunakan. Yang menggunakan sebutan istilah-istilah tersebut, selain orang pribumi, juga oleh mereka sendiri (yang mempunyai keturunan Tionghoa) yang digunakan sebagai identitas.
Berikut 9 Sebutan dan Tipe Keturunan Tionghoa di Indonesia :
1. Tionghoa Totok (atau disebut Cina Totok)
Biasanya bermukim di daerah perkotaan. Aktivitas pekerjaan utama mereka ada pedagang. Orang yang disebut Cina totok adalah orang yang mempunyai garis keturunan Tionghoa MURNI, dimana kedua orang tuanya lahir di Tiongkok, yang merupakan tanah leluhur mereka. Umumnya generasi pertama dan kedua di Indonesia masih bisa digolongkan sebagai ‘Cina Totok’.
Dari fisik mereka cukup mudah dikenali, seperi bermata sipit, berwajah oriental, berkulit putih, masih memegang teguh adat istiadat dan tradisi leluhurnya dari daratan Tiongkok, serta menggunakan bahasa daerahnya untuk percakapan sehari-hari.
Quote:“Totok adalah istilah dari bahasa Indonesia, berasal dari bahasa Jawa yang berarti “baru” atau “murni”, dan digunakan untuk mendeskripsikan para pendatang yang lahir di luar negeri serta berdarah murni. Pada masa Hindia Belanda, istilah ini dipakai untuk menunjuk orang Belanda (atau Eropa) yang lahir di luar Hindia Belanda.Istilah lain, yaitu Peranakan, memiliki arti yang berkebalikan dan digunakan untuk menyebut penduduk yang telah bercampur dengan warga pribumi di Indonesia.” – Wikipedia.org
Istilah totok juga dipakai untuk menyebut warga Tionghoa yang tinggal di Indonesia yang berdarah murni (totok tionghoa), terutama untuk membedakannya dengan Babah (“Baba” adalah istilah sebutan untuk laki-lakinya dan “Nyonya” istilah untuk wanitanya) atau Peranakan.
Catatan : Mereka umumnya merupakan generasi imigran tionghoa yang telah hidup turun-temurun, yang sebagian bsar tersebar di wilayah Kalimantan, baik yang bersifat stateless (tidak memiliki status kewarganegaraan), Warga Negara Tiongkok maupun yang tela beralih kewarganegaraan menjadi WNI. Sebagian dari mereka diketahui masih fanatik dengan menggantungkan loyalitas kepada leluhurnya di negara asal.
2. Tionghoa Peranakan (atau disebut Cina Peranakan)
Tionghoa peranakan adalah orang yang tidak memiliki garis keturunan murni. Hanya salah satu dari orang tuanya saja yang mempunyai keturunan Tionghoa, baik dari sisi Ibu atau dari sisi Ayahnya. Mereka adalah generasi imigran Tiongkok yang hidup turun-temurun dan telah beranak pinak serta kimpoi campur dengan pribumi di indonesia. Selanjutnya, peranakan inilah yang disebut sebagai RAS etnis Tionghoa-Indonesia.
Tempat kelahiran pun tidak lagi di tanah leluhur, jadi bisa dibilang mereka memiliki darah campuran. Keturunan Tionghoa peranakan umumnya mempunyai fisik yang agak berbeda dari Tionghoa. Misalnya seorang Tionghoa yang berpasangan dengan orang Jawa, kelak anaknya memiliki kemungkinan tidak berkulit putih.
Warga keturunan Tionghoa peranakan umumnya tidak lagi menggunakan bahasa Mandarin (atau dialek daerah Tiongkok) sebagai bahasa pergaulan, bahkan dari sisi kultural mereka telah mengalami proses akulturasi budaya dengan budaya lokal setempat dimana mereka tinggal. Contohnya adalah Masyarakat Tionghoa Benteng yang berakulturasi dengan warga lokal Tangerang, dan melahirkan sebuah perpaduan budaya baru.
3. Tionghoa Benteng (atau disebut Cina Benteng)

Musem Tionghoa Benteng Indonesia
Umumnya perawakan warga Tionghoa Benteng mirip dengan orang pribumi Indonesia. Kebanyakan dari mereka berdomisili di Tangerang. Tionghoa benteng adalah bentuk spesifik dari Tionghoa peranakan. Hanya saja tempat kelahiran berada di Tangerang. Bila dilihat, keturunan etnis Tionghoa Benteng rata-rata memiliki kulit lebih gelap dari etnis tionghoa pada umumnya.
Mereka disebut Tionghoa Benteng (Cina Benteng) karena mereka adalah warga Tionghoa yang melarikan diri dari peristiwa pembantaian etnis Tionghoa 3 terjadi di Batavia sekitar tahun 1740. Tionghoa Batavia tersebut berlindung di sekitar benteng yang banyak tersebar di daerah Tangerang, dimana salah satunya adalah Benteng Makasar yang saat ini telah berubah menjadi kompleks pertokoan Robinson.
Selain itu, warga Tionghoa Benteng juga berasal dari daerah Banten yang masuk ke kawasan Tangerang dan bermukim di daerah sekitar kawasan teluk Naga.
4. Tionghoa Medan (atau disebut Cina Medan)
Sebutan ini umumnya disematkan kepada mereka-mereka yang berasal dari kota Medan yang kemudian merantau di kota-kota besar, seperti Jakarta. Di Ibukota, mereka biasanya bermukim di daerah Pluit, Muara Karang dan sekitarnya. Warga Tionghoa Medan ‘dipercaya’ memiliki mental wirausaha yang tinggi. Mereka bisa segera bangkit dari keterpurukan setelah terjatuh habis-habisan.
Meski tata bahasa mereka agak kasar layaknya orang Batak (versi Indonesianya), tetapi masih jauh lebih sopan dibandingkan dengan Tionghoa Bangka (Cina Bangka). Kebanyakan dari mereka berkulit putih, konon katanya karena menghindari keluar pada siang hari. Tionghoa Medan adalah salah satu golongan masyarakat perantauan yang cukup sukses menaklukan Ibukota Jakarta.
5. Tionghoa Bangka (atau disebut Cina Bangka)

Tionghoa Bangka dulunya adalah penambang timah di daerah Bangka, Indonesia
Sejarah Hakka Indonesia di Bangka Belitung tidak akan bisa lepas dari Sejarah Bangka Tionghoa Hakka (Khek) dan Timah (Hanzi : 印尼客家邦加勿里洞历史 – 客家邦加錫採礦; Pinyin : Yìnní kèjiā bāng jiā wù lǐ dòng lìshǐ – kèjiā bāng jiā xī cǎikuàng), yakni oleh orang-orang Tionghoa suku Hakka. Berdasarkan sensus di tahun 1920, Total populasi orang Tionghoa Bangka mencapai 44% dari keseluruhan 154.141 jiwa.
Awal sejarahnya dimulai sekitar abad ke-17, Sekitar tahun 1700-1800. Berawal dari tambang timah di bangka 邦加錫矿(Bāng jiā xī kuàng). Orang-orang Hakka/Khek (Hanzi : 客家; Pinyin : Kèjiā) dari Moi Jan (梅縣; Mei Xian), Hoi Nam (海南; Hai Nan), Kong Si (廣西; Guang Xi) dan beberapa daerah lain di propinsi Kong Tung (廣東; Guang Dong) datang secara berkelompok menjadi tenaga penambang timah di Pulau Bangka (邦加岛; Bāng jiā dǎo), Pulau Belitung (勿里洞岛; Wù lǐ dòng dǎo) dan Pulau Singkep 新及岛; Xīn jí dǎo).
Di masyarakat, warga Tionghoa Bangka dikenal memiliki etika kesopanan yang rendah (kasar). Bagi yang masih tinggal di kampung pedalaman, etika dalam makan kurang diperhatikan, seperti makan dengan menggunakan piring dan sendok secara beramai-ramai. Namun mereka memiliki rasa kekeluargaan dan persaudaraan (solidaritas) yang sangat tinggi apabila jika dibanding dengan suku etnis Tionghoa lainnya.
6. Tionghoa Jawa (atau disebut Cina Jawa)
Awalnya daerah yang pertama didatangi oleh para perantauan asal Hokkian pada abad ke 16 adalah wilayah sekitar Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kebanyakan dari mereka berjenis kelamin laki-laki; dan karena hanya ada sedikit wanita Tiongkok yang ikut pada waktu itu, maka perkimpoian campur dengan wanita pribumi banyak terjadi setelahnya.
Pembawaan sikap mereka umumnya sangat sopan seperti kebanyakan orang Jawa pada umumnya. Mereka juga cukup teliti soal penggunaan uang. Ini karena kepandaian dalam berdagang bangsa Tiongkok setelah berabad-abad lamanya ternyata masih tampak jelas pada keturunannya saat ini menetap di Indonesia. Perantauan orang Hokkian dan keturunannya yang telah berasimilasi sebagian besar tersebar di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Barat Sumatra.
7. Tionghoa Jakarta (atau disebut Cina Jakarta)

Siapa sangka 16 tahun pasca peristiwa Mei 1998, kini Ibukota justru dipimpin oleh seorang etnis Tionghoa Bangka? (Foto : Ahok.org)
Jauh sebelum Belanda membangun Batavia (kini Jakarta) pada tahun 1619, orang-orang Tionghoa sudah tinggal di sebelah Timur Sungai Ciliwung yang letaknya tidak jauh dari pelabuhan itu. Mereka menjual arak, beras dan kebutuhan lainnya termasuk air minum bagi para pendatang yang singgah di pelabuhan. Namun, ketika Belanda membangun loji (bangunan bersejarah peninggalan Belanda) di tempat itu, mereka pun kemudian diusir. Setelah muncul peristiwa Pembantaian Orang Tionghoa di Batavia (tanggal 9 Oktober 1740), orang-orang Tionghoa ditempatkan di kawasan Glodok yang tidak jauh dari Stadhuisa (kini Museum Fatahillah).
Kawasan pecinan yang bisa kita temui di Jakarta saat ini adalah kawasan Glodok, Jakarta Barat. Kawasan ini konon disebut-sebut sebagai kawasan pecinan (Chinatown) terbesar di Indonesia bahkan dunia!
Di daerah Pecinan umumnya terdiri dari ruko (singkatan dari rumah toko) dan terdapat klenteng (dulunya disebut kuil) yang merupakan tempat bersembahyang atau tempat pemujaan Dewa-Dewi kepercayaan etnis Tionghoa. Ruko yang ada di sepanjang Pecinan digunakan untuk tempat berdagang atau berjualan, sekaligus sebagai tempat tinggal warga Tionghoa. Bangunan dan rumah yang ada di kawasan Pecinan dapat terlihat dari ciri-ciri fisiknya yang pada umumnya berupa bangunan berlantai dua. Lantai satu pada umumnya dipakai sebagai tempat usaha, sedangkan lantai dua digunakan sebagai tempat tinggal.
Saat ini warga Tionghoa Jakarta memiliki tingkatan gaya hidup yang lebih modern. Ini cukup wajar mengingat kota Jakarta adalah sebagai ibukota dan kiblat di Indonesia. Namun yang menarik adalah mereka ternyata cukup pedas dalam bertutur kata. Jangan heran juga apabila sikap cuek tanpa tegur sapa akan sering Anda temui jika melihat mereka di kompleks perumahan atau di pusat perbelanjaan.
7. Tionghoa Phanthong (atau disebut Cina Phanthong)
Tionghoa Phanthong adalah hasil dari amalgamasi biologis antara salah satu suku bangsa Tiongkok, yakni suku Hakka dengan suku Dayak di kalimantan Barat, yang tersebar di daerah Samalantan. Jumlah populasinya diperkirakan telah mencapai 1000 orang.
9. Tionghoa Udik (atau disebut Cina Udik)
Tionghoa udik adalah masyarakat etnis Tionghoa yang bermukim di luar benteng Batavia (ommenlanden), seperti wilayah kawasan Tanah Abang. Mereka umumnya bekerja sebagai petani yang menyuplai kebutuhan warga yang bertempat tinggal di dalam Benteng Batavia, sekaligus menjadi penahan dari masuknya musuh VOC dari Mataram.
Pada saat terjadinya huru-hara 1740, mereka melakukan pemberontakan kepada VOC yang memeras penduduk termasuk Cina Udik. Pemberontakan berhasil ditumpas dan mereka akhirnya ditumpas pada tanggal 8-10 Oktober 1740. Sisa-sisa dari mereka melarikan diri ke wilayah Tangerang dan Surakarta. Mereka yang melarikan diri ke wilayah Tangerang dan kemudian menetap serta beranak cucu disebut masyarakat ‘Cina Udik’.
Catatan :
1. Pendidikan mempunyai arti yang sangat penting untuk kemajuan kecerdasan seseorang ataupun suatu bangsa. Dalam menjalankan politik Pemerintah kolonial Belanda menggunakan cara pemisahan; demikian juga dengan pemisahan sekolah Tionghoa. Pada waktu itu, golongan ‘Tionghoa peranakan’ masuk ke pendidikan sekolah ‘China Belanda’, sementara sekolah golongan ‘Cina totok’ akan masuk ke sekolah China (中花学校; zhong hua xue xiao).
Sumber: tionghoa.info/9-sebutan-dan-tipe-keturunan-tionghoa-di-indonesia/
Read More
Setiap perantau yang datang ke Indonesia umumnya membawa kebudayaan suku bangsanya sendiri-sendiri; yang didalamnya termasuk bahasa. Selain bahasa Mandarin, ternyata masih ada 4 dialek bahasa daerah Tiongkok di Indonesia yang cukup banyak penggunanya, yakni :
♦ dialek Hokkian
♦ dialek Teochiu
♦ dialek Hakka
♦ dialek Kanton
Kepandaian dalam berdagang bangsa Tiongkok setelah berabad-abad lamanya ternyata masih tampak jelas pada keturunannya saat ini menetap di Indonesia. Mereka disebut etnis Tionghoa. Rata-rata dari mereka sangat ulet, rajin dan tahan ujian. Perantauan orang Hokkian dan keturunannya yang telah berasimilasi sebagian besar tersebar di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Barat Sumatra.
Perantauan Tionghoa yang lain adalah orang Teochiu, yang berasal dari pantai Selatan Tiongkok daerah pedalaman Shantou, bagian timur propinsi Guangdong. Tempat tinggal mereka berada di pedalaman propinsi Guangdong yang terdiri dari daerah yang bergunung kapur dan tandus.
Selama berlangsungnya gelombang imigrasi mulai tahun 1850 sampai tahun 1930, orang Hakka adalah yang paling miskin diantara para perantau asal Tiongkok lainnya. Mereka bersama-sama orang Teochiu dipekerjakan di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Saat ini orang Hakka mendominasi masyarakat Tionghoa di wilayah-wilayah tambang, seperti di Kalimantan, Sumatra, dan Bangka dan Belitung.
Di sebelah barat dan selatan daerah asal orang Hakka di propinsi Guangdong tinggallah orang Kanton (Konghu). Orang Kanton terkenal di Asia Tenggara sebagai kuli pertambangan. Mereka datang merantau ke Indonesia secara berkelompok pada waktu yang sama dengan orang Hakka, namun keadaan mereka berlainan. Umumnya mereka datang dengan modal yang lebih besar, dan mereka datang dengan ketrampilan teknis dan pertukangan yang tinggi.
Walaupun para perantauan Tiongkok terdiri dari berbagai asal, namun dalam pandangan orang Indonesia mereka hanya dikategorikan ke dalam dua golongan :
♦ Tionghoa – Peranakan : Hasil perkimpoian campur antara orang Tionghoa dan orang asli Indonesia (pribumi) yang sudah beranak-pinak, lahir, besar dan tinggal di Indonsia.
♦ Tionghoa – Totok : Orang Tiongkok yang lahir di Negara asalnya.
Awalnya daerah yang pertama didatangi oleh para perantau Hokkian pada abad ke 16 adalah wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kebanyakan dari mereka berjenis kelamin laki-laki; dan karena hanya ada sedikit wanita Tiongkok yang ikut pada waktu itu, maka perkimpoian campur dengan wanita pribumi banyak terjadi setelahnya.
Peta jalur migrasi bangsa Tiongkok ke kawasan Asia Tenggara dan Indonesia (Ilustrasi : russiancouncil.ru)
Awalnya migrasi perantauan Tiongkok ke wilayah Asia Tenggara terjadi karena keadaan tekanan di negeri sendiri, yang pada waktu itu sedang mengalami masa pergolakan dan revolusi. Pada masa kolonial Belanda, semua orang Tiongkok di Indonesia secara yuridis (hukum) diperlakukan sebagai golongan yang dikenakan sistem hukum perdata yang berbeda dengan orang Indonesia pribumi. Hukum yang diberlakukan bagi para perantauan tersebut adalah hukum yang mengatur bagi orang timur asing.
Pada tahun 1910 pernah ada suatu perjanjian antara pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Tiongkok (waktu itu masih bersistem dinasti; dinasti Qing) yang menetapkan Dwikewarganegaraan bagi orang Tionghoa di Indonesia, agar mereka dapat dikenakan aturan-aturan hukum pemerintah Hindia-Belanda.
Keadaan ini kemudian terus berlanjut sampai Merdekanya Indonesia pada tahun 1945. Pada tahun 1949 pemerintah Belanda akhirnya mengakui dan menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah Indonesia secara penuh. Dengan demikian semua orang Tiongkok di Indonesia yang masih mempunyai status Dwiwarganegaraan pada waktu itu akan berubah menjadi warga Negara Tiongkok merangkap Warga Negara Indonesia.
Saat Konferensi Asia Afrika (KAA) yang Pertama di Bandung pada tahun 1955, Pemerintah Republik Indonesia mengadakan perjanjian dengan pemerintah Tiongkok untuk mengakhiri keadaan ini, sehingga semua orang Tionghoa di Indonesia pada saat itu harus memilih salah satu :
Pilih warga negara Indonesia atau Tiongkok? (Ilustrasi : 123rf.com)
Antara warga Negara Tiongkok (RRC) atau warga Negara Indonesia (WNI)?
Untuk menjadi WNI, para perantauan ini harus bisa membuktikan di pengadilan bahwa ia lahir di Indonesia, dan kemudian menyatakan juga di pengadilan bahwa ia melepaskan kewarganegaraan RRC nya. Ratifikasi atau pengesahan dari perjanjian tersebut baru selesai pada tahun 1960, sedangkan untuk implementasinya dilakukan 2 tahun setelahnya.
Quote:“Pada tahun 1959 terbit Peraturan daerah dengan nomor No.20/1959 yaitu tentang Peraturan Pelaksanaan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan dengan RRT, yang ditetapkan berlaku mulai 20 Januari 1960-20 Januari 1962.
Setelah 2 tahun perjanjian berakhir, mulai terjadi tindakan “pengusiran” terhadap etnis Tionghoa dari daerah kecamatan dan Desa dengan dalih pelaksanaan PP No.10/1959 tentang larangan bagi usaha perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing diluar ibukota daerah tingkat 1 & 2 serta kerasidenan.
Dalam situasi demikian, pemerintah RRT mengirimkan kapal penumpang ke Indonesia dengan tujuan “membantu Huaqiao” kembali ke Tiongkok. Namun baru 4 trip (±40.000 jiwa) yang terangkut, sisanya ±100.000 KK tidak sempat terangkut.” – Tionghoa.INFO
Setelah puluhan tahun kemudian mulai terdapat beberapa sebutan bagi masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia yang umumnya lebih disebabkan karena asal daerah. Beberapa istilah sebutan tersebut sampai sekarang masih sering digunakan. Yang menggunakan sebutan istilah-istilah tersebut, selain orang pribumi, juga oleh mereka sendiri (yang mempunyai keturunan Tionghoa) yang digunakan sebagai identitas.
Berikut 9 Sebutan dan Tipe Keturunan Tionghoa di Indonesia :
1. Tionghoa Totok (atau disebut Cina Totok)
Biasanya bermukim di daerah perkotaan. Aktivitas pekerjaan utama mereka ada pedagang. Orang yang disebut Cina totok adalah orang yang mempunyai garis keturunan Tionghoa MURNI, dimana kedua orang tuanya lahir di Tiongkok, yang merupakan tanah leluhur mereka. Umumnya generasi pertama dan kedua di Indonesia masih bisa digolongkan sebagai ‘Cina Totok’.
Dari fisik mereka cukup mudah dikenali, seperi bermata sipit, berwajah oriental, berkulit putih, masih memegang teguh adat istiadat dan tradisi leluhurnya dari daratan Tiongkok, serta menggunakan bahasa daerahnya untuk percakapan sehari-hari.
Quote:“Totok adalah istilah dari bahasa Indonesia, berasal dari bahasa Jawa yang berarti “baru” atau “murni”, dan digunakan untuk mendeskripsikan para pendatang yang lahir di luar negeri serta berdarah murni. Pada masa Hindia Belanda, istilah ini dipakai untuk menunjuk orang Belanda (atau Eropa) yang lahir di luar Hindia Belanda.Istilah lain, yaitu Peranakan, memiliki arti yang berkebalikan dan digunakan untuk menyebut penduduk yang telah bercampur dengan warga pribumi di Indonesia.” – Wikipedia.org
Istilah totok juga dipakai untuk menyebut warga Tionghoa yang tinggal di Indonesia yang berdarah murni (totok tionghoa), terutama untuk membedakannya dengan Babah (“Baba” adalah istilah sebutan untuk laki-lakinya dan “Nyonya” istilah untuk wanitanya) atau Peranakan.
Catatan : Mereka umumnya merupakan generasi imigran tionghoa yang telah hidup turun-temurun, yang sebagian bsar tersebar di wilayah Kalimantan, baik yang bersifat stateless (tidak memiliki status kewarganegaraan), Warga Negara Tiongkok maupun yang tela beralih kewarganegaraan menjadi WNI. Sebagian dari mereka diketahui masih fanatik dengan menggantungkan loyalitas kepada leluhurnya di negara asal.
2. Tionghoa Peranakan (atau disebut Cina Peranakan)
Tionghoa peranakan adalah orang yang tidak memiliki garis keturunan murni. Hanya salah satu dari orang tuanya saja yang mempunyai keturunan Tionghoa, baik dari sisi Ibu atau dari sisi Ayahnya. Mereka adalah generasi imigran Tiongkok yang hidup turun-temurun dan telah beranak pinak serta kimpoi campur dengan pribumi di indonesia. Selanjutnya, peranakan inilah yang disebut sebagai RAS etnis Tionghoa-Indonesia.
Tempat kelahiran pun tidak lagi di tanah leluhur, jadi bisa dibilang mereka memiliki darah campuran. Keturunan Tionghoa peranakan umumnya mempunyai fisik yang agak berbeda dari Tionghoa. Misalnya seorang Tionghoa yang berpasangan dengan orang Jawa, kelak anaknya memiliki kemungkinan tidak berkulit putih.
Warga keturunan Tionghoa peranakan umumnya tidak lagi menggunakan bahasa Mandarin (atau dialek daerah Tiongkok) sebagai bahasa pergaulan, bahkan dari sisi kultural mereka telah mengalami proses akulturasi budaya dengan budaya lokal setempat dimana mereka tinggal. Contohnya adalah Masyarakat Tionghoa Benteng yang berakulturasi dengan warga lokal Tangerang, dan melahirkan sebuah perpaduan budaya baru.
3. Tionghoa Benteng (atau disebut Cina Benteng)
Musem Tionghoa Benteng Indonesia
Umumnya perawakan warga Tionghoa Benteng mirip dengan orang pribumi Indonesia. Kebanyakan dari mereka berdomisili di Tangerang. Tionghoa benteng adalah bentuk spesifik dari Tionghoa peranakan. Hanya saja tempat kelahiran berada di Tangerang. Bila dilihat, keturunan etnis Tionghoa Benteng rata-rata memiliki kulit lebih gelap dari etnis tionghoa pada umumnya.
Mereka disebut Tionghoa Benteng (Cina Benteng) karena mereka adalah warga Tionghoa yang melarikan diri dari peristiwa pembantaian etnis Tionghoa 3 terjadi di Batavia sekitar tahun 1740. Tionghoa Batavia tersebut berlindung di sekitar benteng yang banyak tersebar di daerah Tangerang, dimana salah satunya adalah Benteng Makasar yang saat ini telah berubah menjadi kompleks pertokoan Robinson.
Selain itu, warga Tionghoa Benteng juga berasal dari daerah Banten yang masuk ke kawasan Tangerang dan bermukim di daerah sekitar kawasan teluk Naga.
4. Tionghoa Medan (atau disebut Cina Medan)
Sebutan ini umumnya disematkan kepada mereka-mereka yang berasal dari kota Medan yang kemudian merantau di kota-kota besar, seperti Jakarta. Di Ibukota, mereka biasanya bermukim di daerah Pluit, Muara Karang dan sekitarnya. Warga Tionghoa Medan ‘dipercaya’ memiliki mental wirausaha yang tinggi. Mereka bisa segera bangkit dari keterpurukan setelah terjatuh habis-habisan.
Meski tata bahasa mereka agak kasar layaknya orang Batak (versi Indonesianya), tetapi masih jauh lebih sopan dibandingkan dengan Tionghoa Bangka (Cina Bangka). Kebanyakan dari mereka berkulit putih, konon katanya karena menghindari keluar pada siang hari. Tionghoa Medan adalah salah satu golongan masyarakat perantauan yang cukup sukses menaklukan Ibukota Jakarta.
5. Tionghoa Bangka (atau disebut Cina Bangka)
Tionghoa Bangka dulunya adalah penambang timah di daerah Bangka, Indonesia
Sejarah Hakka Indonesia di Bangka Belitung tidak akan bisa lepas dari Sejarah Bangka Tionghoa Hakka (Khek) dan Timah (Hanzi : 印尼客家邦加勿里洞历史 – 客家邦加錫採礦; Pinyin : Yìnní kèjiā bāng jiā wù lǐ dòng lìshǐ – kèjiā bāng jiā xī cǎikuàng), yakni oleh orang-orang Tionghoa suku Hakka. Berdasarkan sensus di tahun 1920, Total populasi orang Tionghoa Bangka mencapai 44% dari keseluruhan 154.141 jiwa.
Awal sejarahnya dimulai sekitar abad ke-17, Sekitar tahun 1700-1800. Berawal dari tambang timah di bangka 邦加錫矿(Bāng jiā xī kuàng). Orang-orang Hakka/Khek (Hanzi : 客家; Pinyin : Kèjiā) dari Moi Jan (梅縣; Mei Xian), Hoi Nam (海南; Hai Nan), Kong Si (廣西; Guang Xi) dan beberapa daerah lain di propinsi Kong Tung (廣東; Guang Dong) datang secara berkelompok menjadi tenaga penambang timah di Pulau Bangka (邦加岛; Bāng jiā dǎo), Pulau Belitung (勿里洞岛; Wù lǐ dòng dǎo) dan Pulau Singkep 新及岛; Xīn jí dǎo).
Di masyarakat, warga Tionghoa Bangka dikenal memiliki etika kesopanan yang rendah (kasar). Bagi yang masih tinggal di kampung pedalaman, etika dalam makan kurang diperhatikan, seperti makan dengan menggunakan piring dan sendok secara beramai-ramai. Namun mereka memiliki rasa kekeluargaan dan persaudaraan (solidaritas) yang sangat tinggi apabila jika dibanding dengan suku etnis Tionghoa lainnya.
6. Tionghoa Jawa (atau disebut Cina Jawa)
Awalnya daerah yang pertama didatangi oleh para perantauan asal Hokkian pada abad ke 16 adalah wilayah sekitar Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kebanyakan dari mereka berjenis kelamin laki-laki; dan karena hanya ada sedikit wanita Tiongkok yang ikut pada waktu itu, maka perkimpoian campur dengan wanita pribumi banyak terjadi setelahnya.
Pembawaan sikap mereka umumnya sangat sopan seperti kebanyakan orang Jawa pada umumnya. Mereka juga cukup teliti soal penggunaan uang. Ini karena kepandaian dalam berdagang bangsa Tiongkok setelah berabad-abad lamanya ternyata masih tampak jelas pada keturunannya saat ini menetap di Indonesia. Perantauan orang Hokkian dan keturunannya yang telah berasimilasi sebagian besar tersebar di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Barat Sumatra.
7. Tionghoa Jakarta (atau disebut Cina Jakarta)
Siapa sangka 16 tahun pasca peristiwa Mei 1998, kini Ibukota justru dipimpin oleh seorang etnis Tionghoa Bangka? (Foto : Ahok.org)
Jauh sebelum Belanda membangun Batavia (kini Jakarta) pada tahun 1619, orang-orang Tionghoa sudah tinggal di sebelah Timur Sungai Ciliwung yang letaknya tidak jauh dari pelabuhan itu. Mereka menjual arak, beras dan kebutuhan lainnya termasuk air minum bagi para pendatang yang singgah di pelabuhan. Namun, ketika Belanda membangun loji (bangunan bersejarah peninggalan Belanda) di tempat itu, mereka pun kemudian diusir. Setelah muncul peristiwa Pembantaian Orang Tionghoa di Batavia (tanggal 9 Oktober 1740), orang-orang Tionghoa ditempatkan di kawasan Glodok yang tidak jauh dari Stadhuisa (kini Museum Fatahillah).
Kawasan pecinan yang bisa kita temui di Jakarta saat ini adalah kawasan Glodok, Jakarta Barat. Kawasan ini konon disebut-sebut sebagai kawasan pecinan (Chinatown) terbesar di Indonesia bahkan dunia!
Di daerah Pecinan umumnya terdiri dari ruko (singkatan dari rumah toko) dan terdapat klenteng (dulunya disebut kuil) yang merupakan tempat bersembahyang atau tempat pemujaan Dewa-Dewi kepercayaan etnis Tionghoa. Ruko yang ada di sepanjang Pecinan digunakan untuk tempat berdagang atau berjualan, sekaligus sebagai tempat tinggal warga Tionghoa. Bangunan dan rumah yang ada di kawasan Pecinan dapat terlihat dari ciri-ciri fisiknya yang pada umumnya berupa bangunan berlantai dua. Lantai satu pada umumnya dipakai sebagai tempat usaha, sedangkan lantai dua digunakan sebagai tempat tinggal.
Saat ini warga Tionghoa Jakarta memiliki tingkatan gaya hidup yang lebih modern. Ini cukup wajar mengingat kota Jakarta adalah sebagai ibukota dan kiblat di Indonesia. Namun yang menarik adalah mereka ternyata cukup pedas dalam bertutur kata. Jangan heran juga apabila sikap cuek tanpa tegur sapa akan sering Anda temui jika melihat mereka di kompleks perumahan atau di pusat perbelanjaan.
7. Tionghoa Phanthong (atau disebut Cina Phanthong)
Tionghoa Phanthong adalah hasil dari amalgamasi biologis antara salah satu suku bangsa Tiongkok, yakni suku Hakka dengan suku Dayak di kalimantan Barat, yang tersebar di daerah Samalantan. Jumlah populasinya diperkirakan telah mencapai 1000 orang.
9. Tionghoa Udik (atau disebut Cina Udik)
Tionghoa udik adalah masyarakat etnis Tionghoa yang bermukim di luar benteng Batavia (ommenlanden), seperti wilayah kawasan Tanah Abang. Mereka umumnya bekerja sebagai petani yang menyuplai kebutuhan warga yang bertempat tinggal di dalam Benteng Batavia, sekaligus menjadi penahan dari masuknya musuh VOC dari Mataram.
Pada saat terjadinya huru-hara 1740, mereka melakukan pemberontakan kepada VOC yang memeras penduduk termasuk Cina Udik. Pemberontakan berhasil ditumpas dan mereka akhirnya ditumpas pada tanggal 8-10 Oktober 1740. Sisa-sisa dari mereka melarikan diri ke wilayah Tangerang dan Surakarta. Mereka yang melarikan diri ke wilayah Tangerang dan kemudian menetap serta beranak cucu disebut masyarakat ‘Cina Udik’.
Catatan :
1. Pendidikan mempunyai arti yang sangat penting untuk kemajuan kecerdasan seseorang ataupun suatu bangsa. Dalam menjalankan politik Pemerintah kolonial Belanda menggunakan cara pemisahan; demikian juga dengan pemisahan sekolah Tionghoa. Pada waktu itu, golongan ‘Tionghoa peranakan’ masuk ke pendidikan sekolah ‘China Belanda’, sementara sekolah golongan ‘Cina totok’ akan masuk ke sekolah China (中花学校; zhong hua xue xiao).
Sumber: tionghoa.info/9-sebutan-dan-tipe-keturunan-tionghoa-di-indonesia/
Labels:
Berita
Bung Karno Mouthpiece Rakyat Indonesia
By:
Unknown
on 5:14 AM
HOW easiest to paint a picture of yourself Sukarno is to call it a maha-lover. He loves his country, he loved people, he loved her, she loved art and beyond than everything he loves himself. Sukarno was a man of feeling. An admirer. He took a deep breath when witnessing a beautiful view. His soul vibrate watched the sunset in Indonesia. He wept when his sing negro spirituals people. People say that the President of the Republic of Indonesia has too much blood of an artist. "But I am grateful to the Creator, because I was born with a smooth feeling and the art of blood. Otherwise, how can I be the Leader of the Revolution, sebagairnana 105 million people calling me? Otherwise, bagairnana I can lead my people to regain independence and their fundamental rights, after three and a half centuries under Dutch colonial rule? Otherwise how can I be fomenting a revolution in 1945 and created a united State of Indonesia, which consists of the island of Java, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Islands and other parts of the Indies? A rhythm-revolution is to break down and build up. Pernbangunan wants the soul of an architect. And in the soul lies the architect of the elements of feeling and artistry. Versatility lead a revolution can only be achieved by rnencari inspiration in everything seen. Can people gain insight into something, when he is not a human being and not a human-feeling-art stuff a little bit? But not everyone agrees with the picture of yourself Sukarno Sukarno. Not everyone is aware that the way to near me is the sheer through which a sincere heart. Not everyone is aware that I have is like a small child. Give me a banana with a little sympathy out of deep-heart, I would love you for ever. But give me a thousand million dollars and at that time also you slap my face before the public, so even if it lives the challenge I'll tell you, "Fuck!" Indonesian Human life with the thrill of feeling. We are the only nation in the world that has a kind of cushion that is used just to be embraced. In each place the Indonesia-bed there is a pillow as a prop upstream and a little more cushion-shaped bulatpanjang named bolsters. This bolsters for us good just to be embraced throughout the night. I was the nicest person in the world, if I feel the currents of friendship, sirnpati to the problem-my problem, understanding and appreciation came to greet me. Even if he had not spoken, it can be felt. And even if the taste-not glad it was not spoken, I can feel it. In either case I reacted by instinct. With one gentle word, I will melt. I can be hard as steel, but I will be very soft. A British diplomat is still not realized that the key to Sukarno will rotate easily, if he greased with affection. In a letter not long ago addressed to Downing Street 10 he wrote, "President Sukarno can not be controlled, can not be predicted and can not be controlled. He's like a mouse stuck. "A very nice greeting for someone who had dedicated his whole life the fold of his homeland, people 13 years in jail and exile, because he devoted to an ideal. Maybe I do not agree and concur with him but like a rat? Mendenyut heart stopped when it reached my hand. He ended his letter by saying that he had arranged for Sukarno treated the worst in the newspapers.
"I did not sleep for six years. I could no longer sleep momentary. Sometimes, dilarut midnight, I called someone close to me such as Subandrio, Deputy Prime Minister One and I said, "Bandrio, came to place me, to accompany me, tell me something odd, tell a joke, Talk about anything origin do not be about politics. And if I fall asleep, ma'afkanlah. "I read every night, thinking every night and I was up again at five in the morning. For the first time in my life I began to eat-sleep medicine. I am tired. Too tired. I'm not a man who has no fault. Each beings make mistakes. In those days I'm ma'af sacred to my people in public for the mistakes that I knew I had done, and on faults that are not realized. Maybe a mistake was that I was always the pursuit of an ideal and not the issues cold. I'm still trying to subdue the state or creating more states, so that it can be used as a way to achieve what is being pursued. As a result, even though I tried so hard for my people, I became a victim of malicious attacks. People ask, "Sukarno, if you do not feel offended when people mengeritikmu?" Of course I was offended. I hate insulted people. Am I not human nature as well as any other human being? Even if you injure a Head of State, he will be weak. Of course I want liked. I have an ego. I admit it. But nobody without ego can bring together 10,000 islands into a single ethnicity. And I'm arrogant. Who could not arrogant? Is not every person who reads this book wanted to be commended ?.
I remember one day, when I faced two conflicting reports about me. Sometimes a Head of State does not know which one to believe. The first comes from the magazine "Look". "Look" stated that all the Indonesian people against me. The magazine contains an article about a rickshaw driver said as if everything in Indonesia is very sad situation and the village was now disgusted with Sukarno.
Kusudahi read that article at five o'clock and just at the time I was ready about to berjalanjalan for half o'clock, as is usually done in a palace environment, this is the only kind of exercise can I have a very nervous police officers brought in. While walking I asked him, what he was thinking. "Yes, sir," he began, "Actually, good news." "What do you mean actually good news?" I asked. "Yes," he said, "People really appreciate Mr. They love thee. And especially the rabble. I know, because I've witnessed a situation that demonstrates respect for Mr. Then he stopped. "Keep," I insisted, "Tell me. Where you are and who you meet and what they do? "" Well, sir, "he began again. "We have an area where women meretricious all placed sequentially. We checked the area in a certain time, because it's our job to hold a permanent supervision. Yesterday a group checking their condition and Dad know what they encountered Mr. -They watch portrait, sir. Hung on the wall. "" Where am I hung? "I asked him. "In each room, sir. In each room there is, of course, a bed. Near each bed there is a table and just above the table that's where Dad hung pictures. "Nervously he stalking me while waiting for orders. "Sir, we are happy because the people we glorify the Father, but in this case we still doubt whether natural that the picture of our President is hung on the walls of a brothel. What should we carried out in the? What will we need to move the father of the walls? "" No, "djawabku. "Let me there. Let my eyes it looked old and tired! "No one in this modern civilization that raises so many pros and cons perasasn like Sukarno. I cursed like a bandit and revered as a god. Not infrequently grandparents came to visit me before they put an end to his business. An elderly fisherman, who did not expect praise or profit, walking 23 days simply just to bow down before me and kiss my feet. He stated that he had promised himself, before dying she would see the president's face and show love and loyalty to him. Many believe that I am a god, to have magic powers that heal. A coconut farmer whose son was seriously ill dream, that he should go to the Father and ask for water for her son. Just regular tap water and taken from the kitchen. He is convinced, that this water, I took myself, naturally contain substances that heal. I can not cross swords with him. because Java is a believer in mysticism, and he was sure that he would lose his son if it does not carry these drugs from me. Water I gave it to him. And a week later the child was recovered. I always traveled to various corners of the country from Sabang, the most important country north of the island of Sumatra, to Merauke in West Irian and easternmost. Several years ago I visited a small village in Central Java. A woman from the village came to my maid and whispered, "Do not let anyone take the plates of the President. Please give me the rest. I was pregnant and I wanted a boy. I crave a child like a father. So please, let me eat anything that has been touched himself by my president. "In Bali people believe that Sukarno is the reincarnation of Lord Vishnu, the Hindu God of Rain. Because, when sajapun you've come to the resting place is small, which planned and built my own outside Denpasar, even though in the middle of the dry season, arrival to them meant rain. The Balinese believe that I bring pangestu to them. Last Dikala I flew to Bali there is ongoing drought. Right after I got there, the heavens poured. Speaking frankly, I-say a prayer of gratitude to the presence of the Merciful when rain while I was in Tampaksiring. Because, Even if this does not happen, to some extent will reduce pengaruhku.Namun, the world's only read about one person a pedicab driver. The world only knew, that Sukarno was not the economists. That is true. I'm not an economist. But if Kennedy ekonorni expert? Is Johnson economists? Is that a reason for the West's magazines write that the country is heading for economic collapse? Or that we are "a nation dilapidated". Or to menjuduli a story: "Let's move against Sukarno?" If journalists hate Japan or the Philippines, they can call an area there, where the whole family - mother, father and their children-suicide, suffering from starvation. It's all been known. But not! Only about "The Evil of Asia" they took pictures of the suffering of the people, because of lack of food by the drought and rat, while dilatarbelakangnya described my hotel were wonderful. Then the head of his article: "Sukarno's Indonesia belongs". But it is NOT Indonesia belongs to Sukarno. Indonesia belongs Sukarno now is a nation free of illiteracy in 10051 under the age of 45 years.
At the time our country was born twenty years ago only 6% of us are good at reading and writing. Indonesia belongs Sukarno now is a nation that is two inches taller than previous generations. What makes sense, children can grow better in a state of famine ?. But journalists continued to write, that I am a "slave of Moscow". Let's fix this once and for ever. I do not, do not and can not possibly be a Communist. I worship to Moscow? Anyone who has ever approached Sukarno knew that his ego was too big to be a slave to someone-but become slaves of people. But journalists do not write about anything that either of Sukarno. The main principal talked only about the ugly of Sukarno.Mereka like show Hotel Indonesiaku passionate and behind images of suburban poor. The reason of "people who spend money" put up a building that is to earn foreign currency that we can not find any other way. We produce two million US dollars after the hotel was running for a year. I realize that we still have a poor suburb near it. But countries that have kayapun hotel glittering, tender than that cost millions of dollars, was in the corner there are buildings full of dirt despicable, rotten and ugly. I saw people running in all its splendor rich with sedansedan shiny, but I also saw those poor clawed in
trash cans looking for potato skins. Indeed there is a poor suburb in all cities in the world. Not only in Jakarta, Sukarno belongs. West has always accused me of being too sweet to show the face of the Socialist Countries. "Ooohh," they said, "Look at Sukarno was again toying friends with the Eastern Bloc." Well, why not? Countries Socialists never allow any one mocking in their press. Countries Socialists always complimenting me. They did not make me ashamed to worldwide or not treated in public as a child reprehensible by refusing to provide more numerous pocket until I become a sweet child. Countries Socialists always trying to win the heart of Sukarno. Krushchov send me an hour and pudding fortnightly and memetikkan apples, wheat and other crops from the best harvest. So, am I wrong if you thank her? Who would not be friendly to someone being friendly to him? I pursue politically neutral, yes! But in his heart who is to blame, if I say, "Thank you for the peoples of the Eastern Bloc countries, because you always show me a sign of friendship.
Thank-you for the peoples of the Eastern Bloc countries, because you are trying not to hurt my feelings. Thank you, because you have to convey to your people that Sukarno at least trying with all his might do untak country. Thank you for your gift. "What I said it was a sign of gratitude, not Communism! I denounced in various issues. Why is he too-a lot of traveling, my enemies are always asked. In June 1960, at the time I was held for two months perlawatan four days to India, Hungary, Austria, RPA, Guinea, Tunisia, Morocco, Portugal, Cuba, Puerto Rico, San Francisco, Hawaii and Japan, addressed to me words
The new crafted for me. I even do not know what you mean "Have 707 Will Travel" to a friend of the American people to explain it. It is true, that I was the only president who held so many perlawatan. I've been everywhere except to London, even the Queen of England had twice invited me to visit. I expect, in one moment can accept the hospitality. There perlawatan why I hold it. I want Indonesia known. I want to show the world, what he looks like Indonesia. I wish to convey to the world, that we are not "Nation Moron" as the Dutch repeatedly told us. That we are no longer "stupid Inlander only good for spit" like the Netherlands told us many times. That we are not longer class population goat berjulan ducked nyuruk by wearing gloves and a headband, crawling as desired by employers colonial period to the past. After the People's Republic of China, India, the Soviet Union and the United States, we are a nation that is the fifth in the world in terms of population. 3000 of our islands uninhabitable. But did you know how many people do not know about Indonesia? Or where is it? Or about the color of his skin, whether we sawomatang, black, yellow or white ?. They know only the name of Sukarno. And they recognize the face of Sukarno. They do not know that our country is the largest chain of islands in the world. That our country stretching along 5,000 kilometers or cover the whole of the European countries since the West coast of the continent to the border in the east end. They do not know that we were after Australia is the sixth largest country, with a land area of two million square miles. They generally do not realize, that we are located between two continents, Asia and Australia, and two giant Ocean, the Pacific Ocean and the Indonesian Ocean. Or, that we produce the best coffee in the world; from the onset of speech, "A cup of Java". That after the United States and the Soviet Union, the Indonesians largest oil producer in Southeast Asia and second largest tin producer in the world, the richest country in the universe in terms of natural resources. Or, that one of the four tires, American made of rubber Indonesia. But what they want to know only the name of Sukarno.
Department of Foreign Affairs stated to me, that one visit Sukarno tantamount to ten years of work ambassador. And that is the reason, why I hold perlawatan and why I always give the realities of my homeland in every speech I said in every corner of the world. I wanted to teach the foreigners and provides a first glance brief flashes of the country, which lay green and beloved like a string of emeralds along a circular katulistiwa.Pada one day my secretary handed him a letter which is located a short "President Sukarno, Indonesia, Southeast Asia" , The letter writer said, he heard that I was to curb freedom of the press and whether it was true and if so how cruel I am! The person who wrote this cheesy call me a
savage. He mocked me, but it does not care about. Do you know what makes me upset? The fact that he considers the post office does not know where the location of Indonesia. And therefore he adds the words "Southeast Asia" in the address! Opinion man walks like a wave. In the year '56 when I first berkundjung to the United States, everyone likes me. Now the current is reversed, against Sukarno. After all, I've been made the butt.
Recently handed me an American teen magazine. The magazine shows striptease girl half naked, wearing only panties and standing next to Sukarno dressed in full military uniform. This is a combination that is affixed to one that looked as if a photograph of a girl stripper undressing before the President of the Republic of Indonesia. Both photos are attached to one another. This is the dirty deeds committed against a Head of State. Do I have to love America, if she do such a thing to me? I discuss this kind of trick with President Kennedy's highly respected. John F. Kennedy and I like each of our relationships with one another. He said, "President Sukarno, I really admire Sir. Like myself, have thought that Mr. constantly investigating and wondering. Tuan read everything. Tuan very much to know. "Then he talked about political ideals that kupelopori and cites passages from the speech-speech. Kennedy has a way to approach someone through the human heart. We have a lot of similarities. Kennedy is a very friendly person and show friendship towards me. He took me to the top floor, into her own bedroom and there we chatted. I told him, "Mr. Kennedy, if Mr. do not realize, that while you yourself forge friendly relations, often Tuan may damage relations with other countries by allowing ridicule, attack invective and allow the criticisms regularly against their leaders in the press sir? Sometimes we are more inclined to act or react harder, because we are hurt or angry contrived. Indeed, if the international association was not association between people in greater contact? Continuous erosion of this kind shredding balance and more powerful strain of troubled relations between other countries by land lord. "I agree with Mr. President Sukarno. Sayapun has got difficulty with our journalists, "he complained. "Are we lucky or not, but the freedom of the press is one part of the heritage of American heritage." When Alben Barkley became Vice President of the United States, he visited my homeland, "I said. And myself standing near him at the time he was kissed by a gaggle of children remadja beautiful girl. "I'm sure, of course Vice President Barkley was very glad," Kennedy said with a laugh to hide. Yet none of Indonesian newspapers want to broadcast it.
And besides that they did not dare to take risks to cause trouble against a statesman to the rest of the world. Barkley is a happy and perhaps it does not matter if the picture was published. But is not the point. The main thing is that we believe the need for world leaders protected in our country. "Kennedy was very sympathetic to me about this matter and said to me with confidence," Tuan is absolutely true, but what can I do? While I cursed in my own country. "Therefore I said," Yes, that's the master system. If Mr. condemned rurnah own, I can not do anything. But I guess I do not need to suffer such humiliation in the land lord, where the Head of State personally had to suffer so. Tuan magazine "Time" and "Life" is particularly insolent towards me. Just think, "Time" wrote, "Sukarno could not see a woman without lusting skirt". Always they write bad things. Never good things that have been carried out in the mine. "Even President Kennedy and I had a meeting opinions, approval in this small neighborhood has never spread in the US press. Yet, day after day, they describe me as chaser love. Yes, yes, yes, I love women. Yes, I admit it. But I was not a child brothels as they tudukkan me. In Tokyo I have gone with friends to a Geisha house. Nothing is debauch on the Geisha House. People just sitting, eating, chatting and listening to music. Only that. But in the Western magazines heralded as though I have Le Grand Seducteur. Without these little entertainments I would die. I love life. People-foreigners visiting palace said that I held, "a palace of fun." The aide-aide have faces that smile. I joke with them, sing with them. If I do not get joy, singing and a little entertainment sometimes, I will be destroyed by this life. I reached 64 years old. Being president is a job that make the old quickly. And when people get old, would not be good for someone. Because of that, sometimes I have to run away from this situation, so that I can live on. Many simple pleasures has been taken away from me. For example, in my childhood I had circumnavigated the island of Java by bike. Now such a journey can not do it again, because it is certainly not a few people will follow.
In Hollywood I was given the opportunity to rnelihat-seeing around the film studios. Time to leave the studio page I saw a boy passing postman with the bike, and then stop the bike for a while. Suddenly I was happy and my mind open, so I hop on and go. I'm not going to impress anyone. Just because they feel happy. Well, this drawing echoes and spread throughout the world. In my country I yourselves can no longer enjoy the pleasure of the most satisfactory liver, namely menggeledahi art shops, melihatlihat objects to be collected, then neutralize. Wherever I went, people gathered in droves. My doctor has noticed, that excitement are absolutely necessary for maintaining health. Thus I can be separated a little from myself and from my prison. Because that's how I was. A prisoner. Prisoner of the procedures for official round. Prisoner of decency ordinances. Prisoner of good behavior. Everyone should find a pleasure that in spite of all this code of conduct. President Ayub Khan to play golf, boating Kennedy screens, Prince Norodom Sihanouk composed music, the King of Thailand to play the saxophone, Lyndon Johnson had a farm. I will require a pleasure. Therefore, when I travel, I allow myself the pleasure stints in the pursuit of happiness. In accordance with the Constitution of the United States everyone is entitled mengejarnja. Being the President for necessary causes people to become estranged. Skills and attributes that allow people the office of President it is the skill and the nature of it is also the cause he was exiled. However, in the eyes of the outside I was always happy. Pembawaanku is so, so extreme hard feelings never show themselves. Even feelings melted within, one can not expect it. Sukarno wasnt famous "senjumnya"? Whatever persoalanku- Malaysia, poverty, again-Sukarno attempted murder from the outside is always happy. Often I sat alone on the porch of the Palace. Home was not so beautiful. Half covered with a screen to block the sun's heat and light. The furniture consists of korsi rattan that is not coated and painted and batik cloth mat table smooth artificial country. A privilege which I gained due to the high office is a solitary chair disposable pillow. That's called "Chairs President". And I'm sitting there. Brooding. And looked out onto a beautiful garden which eliminates the fatigue of mind, garden kutanami with my own hands. And I thought it very quiet. I want to mix with the people. That became my habit. But I can no longer do so. Sometimes I feel like my body going limp, breathing will stop, if I could not come out and unite with the masses who gave birth. Sometimes I become a Harun al-Rashid. I drove around the city. Alone. Only with an aide plainclothes behind the vehicle. Feels to me sometimes, that I must be detached from the problems for a moment and feel the rhythm of the heartbeat of my homeland. However, problems always follow me like a shadow big and black and comes with a faint eerie behind. I could not escape from it. I will not get out of his grasp. I will not be able to go forward with it. He was like a ghost always chasing. Uniforms and black cap is a sign pengenalku. But sometimes when evening came, I change clothes wear sandals, slacks and if it gets too hot I was only wearing a shirt. And with the horn-rimmed glasses I look quite other. I can wander without a known and indeed I did. I do this because I wanted to see life. I belonged to the people. I have to see people, I have to listen to the people and come into contact with them. My feelings will be peaceful when I am among them. He is the bread of life for me. And I felt apart from the rabble. I listened to their conversation, I listened to them argue, I listen to them a joke and making out-of love. And I feel the life force flowing throughout my body trunk.
We went with a small car without identification. Sometimes I stop and buy satay on a side road. I sat alone on the edge of the sidewalk and enjoy jajanku wrapped in banana leaves. Really enjoyable moments. People soon knew when to hear my voice. On one night I went to Senen train around the barn, with the Commissioner of Police. I'm circling in the midst of the people and no one noticed us. Finally, for a talk I asked the man, "Where have taken bricks and construction materials that have been anchored in this?" Before he could answer, there was a scream, "Hee," shouted the voice of women, "It's the sound of Mr. Yes, sounds .., Elapak Hee, people, these Dear Mr. "Within a few seconds the hundreds and then thousands of people came running from all directions. The commissioner quickly took me out of there, get in our small car and disappeared. Seen as a whole, the office of President is like a remote exile. There are people, my friend. Not much. Often the mind is people are fickle, are not your thoughts. They treat others. They helped to create this lonely island around me. That's why, when I was separated from my prison, I please myself.
Labels:
Soekarno
Subscribe to:
Posts (Atom)